drawed by Isnaini Augustin
Cerpen ini dibuat untuk tugas Bahasa Indonesia, tapi karna menurut aku nggak terlalu buruk, aku post di blog. Oh ya! Karna cerpen ini harus disisipin lagu yang berkesan bagi masing-masing murid, jadi aku pilih lagu BEAST-On Rainy Days ^^ Selamat membaca ya
Gadis
ini mencengkram erat kepalanya. Di tengah hujan, dia masih harus mengalami
perdebatan sengit antara hati dan otaknya. Dinda, begitu gadis ini disapa.
Menangis di tengah hujan yang sangat deras memang efektif karena tetesan air matapun takkan
terlihat.
Dinda
berjalan di koridor kelas dengan lesu. Bagaimana tidak, fikirannya benar-benar
sedang kacau. Apalagi kalau bukan karna cinta. Tepatnya karna Denis, si
pangeran berkuda putih itu. Sebenarnya Denis hanyalah pria biasa, hanya saja
cinta membuat Denis terlihat tak biasa di mata Dinda. Mungkin Dinda melihat
menggunakan mata hati. Mungkin.
Tak
ada yang buruk dari mengenal Denis. Hanya saja Denis terlalu untuk Dinda.
Terlalu baik, terlalu tampan, terlalu pintar.. Nyaris sempurna. Dulu, Dinda
tidak suka pada Denis, bahkan Dinda membencinya. Tapi sekarang? Ia menyukainya.
Atau mencintainya. Mungkin.
“Din,
kamu baik-baik saja?” Suara itu. Suara itu sudah tak asing lagi di telinga
Dinda. Dan benar saja, ketika Dinda melihat siapa orang itu. Ternyata Denis.
“Aku?
Aku baik-baik saja.” Jawab Dinda. Sungguh dibalik kata baik-baik saja ada kata
tidak dalam keadaan baik yang tersembunyi. Perempuan. Bukankah itu salah satu
keahliannya untuk menutupi perasaan mereka yang sebenarnya?
Seperti
biasa, Dinda duduk di samping Gisha. Gisha dulunya adalah gadis yang Denis
sukai. Gisha itu perempuan yang cantik, pintar, dan pandai bergaul, hampir tak
ada celah pada dirinya. Tapi itu dulu, sampai Denis berkata kalau ia menyukai
Dinda. Dinda mendengus geli ketika otaknya memutar memori antara Dia, Gisha dan
Denis.
Waktu
itu, hujan sangat lebat. Dinda dan Gisha menunggu hujan itu berhenti. Gisha
sibuk mengamati hujan yang deras itu, tetapi Dinda justru menikmatinya. Aroma
hujan, Dinda selalu menyukai itu. Rintikan hujan mengalun seperti sebuah musik
di telinganya. Dinda menikmati itu sampai dia tahu bahwa Denis memberikan
jaketnya untuk Gisha. Dinda benarbenar cemburu hingga dia lepas kendali.
“Din
maaf.. Aku nggak mau semua berakhir sampai di sini?”
Dinda
sempat bingung dengan isi pesan singkat Denis. Kata-katanya sedikit sulit untuk
dicerna oleh otaknya. Bahkan butuh waktu yang lama untuk memikirkan kata-kata
Denis. Tetapi akhirnya Dinda menjawab
“Apa
yang berakhir? Nggak ada yang berakhir. Semuanya akan sama seperti dulu. Maaf,
tadi aku memang lagi emosi. Jangan berlebihan menanggapinya. Nothing gonna change Denis, trust
me.”
Tiba-tiba
Dinda tersadar dari lamunannya karena guru sudah memasuki kelas. Lagi-lagi
matanya kembali menangkap sosok Denis. Denis sibuk dengan perempuan itu. Target
baru mungkin. Dinda pura-pura tidak memperdulikannya. Dinda harus fokus. Ini
demi mimpinya juga kebahagiaannya.
Jam
tambahanpun berakhir. Semua anak-anak sibuk mengobrol sana-sini, membicarakan
rencana mereka sepulang jam tambahan. Dinda sedang fokus membereskan
buku-bukunya. Memastikan bahwa tak ada satupun barangnya yang tertinggal. Tapi
tiba-tiba sosok itu mengusiknya, lagi.
“Tidak.
Hanya ingin melihat kamu. Dinda yang fokus benar-benar lain ya.”
Dinda
mengangkat sudut bibirnya ketika mendengar kata-kata Denis.
“Eh?
Dinda tersenyum?”
Setelah
mendengarnya, Dinda segera merubah raut wajahnya. Dinda menyesali senyumannya
tadi. Harusnya ia tidak memberikan senyuman berharganya itu kepada Denis. Si
pemberi harapan palsu.
“Dinda,
ada yang mau aku bicarakan. Kita keluar sebentar ya”
Dinda
segera keluar bersama Denis sebelum teman-temannya melihat. Ketika Denis
mengajak Dinda untuk mengobrol di tempat teduh, Dinda menolaknya. Dinda
beralasan kalau saat ini hanya hujan. Hujan air, dan lagipula Dinda suka hujan.
“Mau
bicara apa?” tanya Dinda.
“Kamu
kenapa? Akhir-akhir ini kamu menjauhiku. Kamu nggak pernah mengirimiku pesan
singkat. Bahkan seperti kamu membenciku. Aku salah apa sama kamu?” jawab Denis
yang kembali bertanya.
“Semuanya
sudah berakhir”
“Berakhir?
Maksudmu? Apa yang berakhir?”
“Kita.”
Beberapa
menit kemudian Dinda meralat kata-katanya
“Maksudku
bukan kita. Tapi aku dan kamu. Bukankah aku dan kamu tidak akan pernah menjadi
kita?”
“Kamu
ini bicara apa Dinda. Siapa yang bilang kalau kamu dan aku tidak akan pernah
menjadi kita?”
“Takdir.
Takdir memang tak pernah berkata tentang hal itu. Tapi, takdir menunjukkannya.”
“Takdir
tak pernah menunjukkan itu Din” jawab Denis tegas.
“Tak
pernah? Bagaimana dengan kebudayaan kita? Bukankah itu cukup menunjukkan kalau
kita tidak bisa bersama? Kamu keras sedangkan aku lembut. Kamu api sedangkan
aku air. Kita berbeda, bahkan jika kita bersama maka kita akan menghancurkan
satu sama lain.”
Hujan
semakin deras. Sebanyak air hujan itulah air mata Dinda yang ditahannya.
Mungkin untuk terakhir kalinya, Dinda ingin Denis mengingat senyumnya, bukan
tangisnya.
“Kenapa
kamu menginginkan ini berakhir? Bukankah terlalu awal untuk mengakhirinya?”
“Kenapa
kamu bertanya kepadaku? Kamu yang mengakhirinya. Bukan aku.”
“Aku?
Aku tak pernah mengatakan ingin mengakhiri semuanya.”
“Sekali
lagi, mungkin lidahmu terlalu kelu untuk mengatakan bahwa semua ini telah
berakhir. Tetapi kamu berhasil menunjukkan. Kamu menunjukkan tanda-tanda bahwa
kamu ingin mengakhirinya.”
“Din..
Dulu aku kan pernah bilang kalau aku nggak mau —” ucapan Denis terpotong karna
Dinda segera menjawab
“Itu
dulu Sekarang, tanda-tandanya sudah jelas bahwa kamu ingin mengakhirinya.”
Hening.
Denis tidak bisa menjawab apa-apa lagi. Tak pernah terfikirkan oleh Denis kalau
Dinda akan mengatakan hal-hal seperti ini. Denis tak tahu apa yang membuat
Dinda berubah seperti ini.
“Lagipula,
kamu sekarang sudah punya pacar, kan?” kata Dinda yang sepertinya ingin
menyindir Denis.
“Pasti
kamu bingung aku tahu dari mana kalau kamu sudah punya pacar.” sambung Dinda
sambil memaksakan senyum pada wajahnya.
“Pastinya.
Kamu ini jangan-jangan penguntit aku ya.” Denis benar-benar tertawa lepas
dengan jawabannya tadi. Bahkan Dinda ikut terkekeh dengan jawaban Denis.
Tiba-tiba
Dinda berhenti tertawa. Dia memperhatikan Denis yang masih tertawa lepas.
Mungkin ini terakhir kalinya Dinda melihat Denis tertawa karnanya dan
bersamanya. Dinda menatap wajah Denis lekat-lekat. Ia mencoba mengingat setiap
lekuk wajah Denis. Jika Tuhan tak mengizinkannya untuk memiliki Denis, maka
biarkanlah Dinda memiliki kenangan tentang Denis. Tetapi Dinda tak ingin
mengingat kenangan ini setiap saat. Biarkanlah hujan menyimpan kenangan antara
Dinda dan Denis.
Tanpa
sadar Dinda menitihkan setetes air matanya. Dia berbalik membelakangi Denis.
Pundaknya bergetar hebat. Tangisannya benar-benar tak bisa ditahan lagi. Suara
tangisnya pecah diantara lebatnya hujan. Denis segera menghentikan tawanya. Dia
menatap punggung itu. Punggung gadis yang dulu sempat menjadi tempat pertama
saat sedih maupun senang. Denis tahu betapa rapuhnya gadis ini.
Dinda
segera menghapus air matanya. Mengatur suaranya agar tak bergetar saat
berbicara dengan Denis nantinya. Dinda membalikkan tubuhnya dan tersenyum kaku
saat melihat Denis. Denis membalas senyuman Dinda dengan tulus. Dinda tak tahu
harus bagaimana atas sesuatu yang telah berakhir. Yang terbesit di benaknya
adalah betapa bodohnya dia. Dinda juga tahu bahwa hujan akan membawanya pada
kenangan antara dia dan Denis, tetapi pada saat hujan berhenti kenangan itu
sedikit demi sedikit akan menghilang.
Dinda
beranjak dari duduknya. Begitu juga dengan Denis.
“Sepertinya
aku harus pulang. Hujannya semakin deras. Dan kamu juga harus pulang.” kata
Dinda.
“Aku
harap setelah hujan ini akan ada pelangi. Pelangi yang menghubungkan aku dengan
pasanganku, dan kamu dengan pasanganmu.” sambungnya.
Dinda
pergi meninggalkan Denis lebih dahulu. Dinda kini sadar bahwa tak selamanya
pangeran baik untuknya. Dan hujan? Terimakasih untuk hujan karena bersedia
menjadi pengingat kenangan yang Dinda miliki.
Mungkin
dari cerpen ini aku ngelibatin temen-temen di kehidupan nyata ya o:) maaf nggak
minta izin lagi, tapi bagian kalian cuma sedikit kok, selebihnya imajinasi aku.
Maaf dan makasih ya =))

Tidak ada komentar:
Posting Komentar