Wulan, begitu ia disapa. Perempuan dengan
kulit sawo matang dan suaranya yang halus cukup meyakinkan kalau ia benar-benar perempuan jawa. Masih dengan mata yang sembab, ia menuruni anak tangga dengan
tergesa-gesa. Jika bukan karena galau, ia
tidak akan bangun telat seperti ini.
Mobil hitamnya melaju dengan kencang. Kali
ini ia harus menaklukkan waktu agar tidak terlambat ke sekolah. Maklum saja,
sekolahnya mempunyai peraturan yang cukup ketat. Jadi, kalau tidak bisa
menaklukkan waktu, Wulan akan menemui guru yang sangat mengerikan.
"Kenapa bisa sampai kesiangan?"
tanya Panji. Panji adalah pria yang selalu pergi dan pulang bersama Wulan.
Bukan supir, tapi teman.
"Aku belajar sampai larut malam."
"Yakin belajar? Buku apa yang
dipelajari sampai matanya sembab begitu?" sindir Panji.
Wulan melirik Panji. Ia tahu Panji sedang
mencoba menyindirnya. Tapi, Wulan memilih untuk diam. Kalau sudah bertengkar
dan adu mulut dengan panji, bisa-bisa mobilnya ini menabrak pohon, motor, mobil
atau yang lebih parahnya masuk jurang. Ia benar-benar tidak mau itu terjadi.
Beruntung saat mereka sampai di sekolah, gerbang belum ditutup.
Seperti biasa, suasana kelas di pagi hari
sangat ribut. Maklum, semua murid energinya masih terisi penuh.
"Eh itu murid kelas sebelah tuh! Gila
cantik banget!" teriak seorang anak laki-laki di kelas itu.
"Kamu lihat dia nggak? Cantik ya?
Coba aja aku sama dia pacaran, pasti serasi." kata Panji pada Wulan.
"Norak. Kayak nggak pernah lihat
perempuan cantik aja kamu ini Panji." jawab Wulan.
"Bilang aja sirik!"
"Perlu gitu sirik sama perempuan yang
cuma cantik mukanya? Kalo hatinya busuk gimana? Masih mau kamu pacaran sama
dia?"
Panji tak menanggapi perkataan Wulan.
Panji benar-benar bingung, buku apa yang dipelajari Wulan sampai dia bisa
berkata ketus seperti ini. Tapi, Panji tak mau ambil pusing. Ia kembali
melempar pandangannya ke lapangan. Kebetulan ia duduk persis di samping
jendela. Jadi, ia paling suka pemandangan saat murid lainnya olahraga. Tanpa
sengaja matanya menangkap sosok perempuan itu lagi. Perempuan yang ia sebut-sebut
cantik. Cantika, namanya. Menurut Panji, mustahil kalau perempuan secantik dia
mempunyai hati yang jahat.
"Panji! Panji!"
Panji menoleh dan mendapati Wulan dengan
wajah memerah dan tampaknya sangat kesal. Panji menerka-nerka kalau Wulan pasti
sudah lama memanggilnya.
"Kamu mau ke perpustakaan nggak? Pak
Widodo hari ini nggak masuk. Katanya sih sakit." tawar Wulan.
"Boleh. Tapi.. um.. lewat lapangan
ya?"
"Kok lewat lapangan sih?" tanya
Wulan, lalu ia melirik ke luar jendela.
"Oh.. Itu yang buat kamu nggak jawab
panggilan aku. Itu juga yang buat kamu mau lewat lapangan? Terserah. Aku mau
nggak mau lewat lapangan. Panas." sambung Wulan.
Wulan berjalan ke luar kelas lalu menghela
nafas. Ia tak habis fikir, bagaimana bisa Panji jatuh cinta pada seseorang yang
tak dikenal. Panji hanya tahu. Tahu kalau namanya itu Cantika dan Cantika itu
perempuan yang cantik. Sesampainya di perpustakaan, Wulan segera disambut oleh
aroma khas susunan buku-buku itu dan tentu saja debu yang ada di setiap rak
buku itu. Alih-alih membaca, Wulan malah menggambar di buku sketsanya. Hanya
dalam beberapa menit, Wulan sudah tenggelam dalam dunianya sendiri.
"Perempuannya cantik." kata
Panji yang memberikan komentar terhadap gambar Wulan.
"Kalau dia sungguhan, aku mau jadi
pacarnya." sambung Panji.
"Kamu kenal dia?" tanya Wulan.
Lalu, Panji menanggapinya dengan menggeleng.
"Bagaimana bisa kamu ingin menjadi
pacarnya meskipun kamu belum mengenalnya?"
Panji hanya menggaruk tengkuknya. Ekspresi
wajahnya menunjukkan kebingungan. Ia tak tahu harus menjawab apa.
"Panji, jika cinta hanya menggunakan
mata dan memandang fisik, lalu untuk apa Tuhan menciptakan hati?"
"Lalu salah kalau aku menyukai orang
yang cantik?"
"Bukan begitu. Aku juga suka pria
yang tampan. Tapi cinta itu bukan tentang 99% fisik lalu 1% hati. Jangan mudah
jatuh cinta hanya karna fisiknya."
"Apa kamu pernah jatuh cinta?"
tanya Panji.
"Sedang jatuh cinta." jawab
Wulan sambil tersenyum.
"Sama siapa? Ceritakan! Seperti apa
pria itu?"
"Tampan - " belum selesai Wulan
mendeskripsikannya, Panji segera memotong perkataan Wulan.
"Lihat! Kamu juga melihatnya dari
segi fisik!"
"Tapi nggak seluruhnya. Ia tampan,
baik, dan yang pasti spesial. Kamu sudah pernah bertemu belum
sama perempuan yang spesial? Perempuan yang nggak cuma cantik tapi
spesial."
"Pernah. Cantika."
"Ternyata jawaban yang sama. Kalau
begitu selamat berjuang untuk mendapatkan cintanya!" Wulan beranjak dari
kursinya. Dan saat ia akan keluar, Panji memanggilnya
"Wulan! Siapa pria itu?"
"Kamu nggak perlu tahu." Wulan
tersenyum penuh arti, lalu meninggalkan Panji begitu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar