Senin, 21 Mei 2012

Cinta, Mata dan Hati

Wulan, begitu ia disapa. Perempuan dengan kulit sawo matang dan suaranya yang halus cukup meyakinkan kalau ia benar-benar perempuan jawa. Masih dengan mata yang sembab, ia menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Jika bukan karena galau, ia tidak akan bangun telat seperti ini.
Mobil hitamnya melaju dengan kencang. Kali ini ia harus menaklukkan waktu agar tidak terlambat ke sekolah. Maklum saja, sekolahnya mempunyai peraturan yang cukup ketat. Jadi, kalau tidak bisa menaklukkan waktu, Wulan akan menemui guru yang sangat mengerikan.
"Kenapa bisa sampai kesiangan?" tanya Panji. Panji adalah pria yang selalu pergi dan pulang bersama Wulan. Bukan supir, tapi teman.
"Aku belajar sampai larut malam."
"Yakin belajar? Buku apa yang dipelajari sampai matanya sembab begitu?" sindir Panji.
Wulan melirik Panji. Ia tahu Panji sedang mencoba menyindirnya. Tapi, Wulan memilih untuk diam. Kalau sudah bertengkar dan adu mulut dengan panji, bisa-bisa mobilnya ini menabrak pohon, motor, mobil atau yang lebih parahnya masuk jurang. Ia benar-benar tidak mau itu terjadi. Beruntung saat mereka sampai di sekolah, gerbang belum ditutup.
Seperti biasa, suasana kelas di pagi hari sangat ribut. Maklum, semua murid energinya masih terisi penuh.
"Eh itu murid kelas sebelah tuh! Gila cantik banget!" teriak seorang anak laki-laki di kelas itu.
"Kamu lihat dia nggak? Cantik ya? Coba aja aku sama dia pacaran, pasti serasi." kata Panji pada Wulan.
"Norak. Kayak nggak pernah lihat perempuan cantik aja kamu ini Panji." jawab Wulan.
"Bilang aja sirik!"
"Perlu gitu sirik sama perempuan yang cuma cantik mukanya? Kalo hatinya busuk gimana? Masih mau kamu pacaran sama dia?"
Panji tak menanggapi perkataan Wulan. Panji benar-benar bingung, buku apa yang dipelajari Wulan sampai dia bisa berkata ketus seperti ini. Tapi, Panji tak mau ambil pusing. Ia kembali melempar pandangannya ke lapangan. Kebetulan ia duduk persis di samping jendela. Jadi, ia paling suka pemandangan saat murid lainnya olahraga. Tanpa sengaja matanya menangkap sosok perempuan itu lagi. Perempuan yang ia sebut-sebut cantik. Cantika, namanya. Menurut Panji, mustahil kalau perempuan secantik dia mempunyai hati yang jahat.
"Panji! Panji!"
Panji menoleh dan mendapati Wulan dengan wajah memerah dan tampaknya sangat kesal. Panji menerka-nerka kalau Wulan pasti sudah lama memanggilnya.
"Kamu mau ke perpustakaan nggak? Pak Widodo hari ini nggak masuk. Katanya sih sakit." tawar Wulan.
"Boleh. Tapi.. um.. lewat lapangan ya?"
"Kok lewat lapangan sih?" tanya Wulan, lalu ia melirik ke luar jendela.
"Oh.. Itu yang buat kamu nggak jawab panggilan aku. Itu juga yang buat kamu mau lewat lapangan? Terserah. Aku mau nggak mau lewat lapangan. Panas." sambung Wulan.
Wulan berjalan ke luar kelas lalu menghela nafas. Ia tak habis fikir, bagaimana bisa Panji jatuh cinta pada seseorang yang tak dikenal. Panji hanya tahu. Tahu kalau namanya itu Cantika dan Cantika itu perempuan yang cantik. Sesampainya di perpustakaan, Wulan segera disambut oleh aroma khas susunan buku-buku itu dan tentu saja debu yang ada di setiap rak buku itu. Alih-alih membaca, Wulan malah menggambar di buku sketsanya. Hanya dalam beberapa menit, Wulan sudah tenggelam dalam dunianya sendiri.
"Perempuannya cantik." kata Panji yang memberikan komentar terhadap gambar Wulan.
"Kalau dia sungguhan, aku mau jadi pacarnya." sambung Panji.
"Kamu kenal dia?" tanya Wulan. Lalu, Panji menanggapinya dengan menggeleng.
"Bagaimana bisa kamu ingin menjadi pacarnya meskipun kamu belum mengenalnya?"
Panji hanya menggaruk tengkuknya. Ekspresi wajahnya menunjukkan kebingungan. Ia tak tahu harus menjawab apa.
"Panji, jika cinta hanya menggunakan mata dan memandang fisik, lalu untuk apa Tuhan menciptakan hati?"
"Lalu salah kalau aku menyukai orang yang cantik?"
"Bukan begitu. Aku juga suka pria yang tampan. Tapi cinta itu bukan tentang 99% fisik lalu 1% hati. Jangan mudah jatuh cinta hanya karna fisiknya."
"Apa kamu pernah jatuh cinta?" tanya Panji.
"Sedang jatuh cinta." jawab Wulan sambil tersenyum.
"Sama siapa? Ceritakan! Seperti apa pria itu?"
"Tampan - " belum selesai Wulan mendeskripsikannya, Panji segera memotong perkataan Wulan.
"Lihat! Kamu juga melihatnya dari segi fisik!"
"Tapi nggak seluruhnya. Ia tampan, baik, dan yang pasti spesial. Kamu sudah pernah bertemu belum sama perempuan yang spesial? Perempuan yang nggak cuma cantik tapi spesial."
"Pernah. Cantika."
"Ternyata jawaban yang sama. Kalau begitu selamat berjuang untuk mendapatkan cintanya!" Wulan beranjak dari kursinya. Dan saat ia akan keluar, Panji memanggilnya
"Wulan! Siapa pria itu?"
"Kamu nggak perlu tahu." Wulan tersenyum penuh arti, lalu meninggalkan Panji begitu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar