
Author : Safira A Balqis
Twitter : @kyungcoh
Judul : As Sweet As Cotton Candy
Genre : Romance
Cast : 1. Sandeul Lee Junghwan
2.
Jang Min Ji
3.
Shin Won Ho
“Aku
akan membuatmu merasakan cinta semanis permen kapas.”
S
|
uara rintikan hujan sore ini
menemani petikan gitar gadis ini. Paduan keduanya benar-benar menciptakan
suasana sempurna. Jang Min Ji atau Min Ji, ya begitulah gadis ini disapa. Sudah
lama ia menekuni hobinya bermain gitar. Min Ji mencintai gitar seperti ia
mencintai dunia sastra. Baginya, petikan gitar adalah satu-satunya hal yang
bisa membuat suasana hatinya membaik di saat tak ada yang mampu melakukannya.
“Aigo temanku
ini ternyata pintar sekali ya bermain gitar.”
“Cih! Selama ini
pasti kau telah menjadi pangeran tidur sampai tidak tahu bahwa aku ini memang
pintar bermain gitar.”
Suara tawa
mereka memenuhi ruangan itu, menggantikan suara petikan gitar, dan
menenggelamkan suara rintikan hujan. Sandeul, itulah nama pria ini. Pria
humoris yang memiliki suara emas. Dia adalah teman dekat Min Ji. Maklum saja,
mereka bisa sedekat ini karena dunia seni. Dunia seni sastra dan musik.
“Wae?” tanya Min
Ji.
“Kenapa kau
datang ke rumahku?” sambung Min Ji lagi.
“Ingin
mengajakmu jalan-jalan. Tadinya, ku pikir kau sedang belajar untuk kuis besok.
Ternyata kau malah bersantai.” jawab Sandeul.
“Oh? Geuraeyo?
Kajja!” ajak Min Ji bersemangat. Bahkan karena terlalu bersemangat, Min Ji
tidak sengaja menjatuhkan gitar kesayangannya.
“Aw! Kau ini
ceroboh sekali! Bukankah itu gitar kesayanganmu? Harusnya kau lebih
berhati-hati saat meletakkannya. Aish! Pabo!” bentak Sandeul pada Min Ji. Lalu
Sandeul pun berjalan lebih dulu meninggalkan Min Ji.
“Wae geurae?
Sepertinya ada yang salah pada otaknya. Itu gitarku. Jika gitar itu jatuh,
harusnya aku yang sedih. Kenapa dia marah-marah? Dasar bebek aneh!” gerutu Min
Ji sambil mengikuti langkah Sandeul.
Kenapa dia hanya
diam dari tadi? Ini benar-benar aneh. Bukankah tadi dia yang mengajakku
jalan-jalan? Kalau tahu jalan-jalannya akan sebosan ini lebih baik aku tidak
ikut. Kau benar-benar bodoh Jang Min Ji.
“Kenapa diam?”
Siapa yang dia
maksud diam? Bukankah dari tadi dia yang tidak mau bicara padaku? Bahkan aku
tidak tahu apa salahku hingga dia bersikap seperti ini. Apakah karena gitarku
tadi? Yang benar saja?! Ini akan menjadi sangat konyol bila dia marah karena
gitarku.
“Masih tidak mau
bicara?”
Aku benar-benar
malas menjawab pertanyaannya. Jelas-jelas dia yang salah. Harusnya bukan
pertanyaan macam itu yang dia berikan. Apa susahnya mengucapkan kata maaf? Masa
bodoh lah dengan semua pertanyaannya. Pokoknya aku tidak mau menjawab sebelum
ia meminta maaf kepadaku. Bebek keras kepala ini memang sebaiknya diberi
pelajaran. Bahkan kesalahan sendiri tidak sadar.
“Nah! Sudah
sampai! Ayo turun!” ajak Sandeul sembari membukakan pintu mobil untuk Min Ji.
Min Ji mengikuti
perintah Sandeul, tapi wajahnya benar-benar tak karuan. Tak ada senyum. Tak ada
tawa. Tak ada keceriaan. Bagaimana tidak, Min Ji masih kesal dengan Sandeul
karena sudah membentaknya.
“Masih marah ya?
Mianhae.” ucap Sandeul dengan wajah imutnya.
“Aish jinjja!
Jangan ulangi lagi! Aku tidak tahu kau marah karena apa. Tiba-tiba langsung
membentakku. You look more scary when you
are angry, Sanduck. Arraseo?”
“Um! Arra!”
Sandeul mengangguk.
“Lalu sekarang
mau ke mana? Cake Shop? Coffee Shop? Atau Book Store?” tanya Sandeul.
“Ke sana!” jawab
Min Ji dengan semangat. Min Ji menunjuk salah satu kedai pinggir jalan yang
menjual permen kapas.
“Cotton candy?” Sandeul mengernyitkan
dahinya. Ia tidak menyangka kalau Min Ji masih menyukai makanan manis itu.
“Kajja!” ajak
Min Ji sambil menarik tangan Sandeul.
Ketika sampai di
kedai itu Sandeul benar-benar terkejut. Kedai itu memang ramai. Ramai sekali.
Sampai-sampai harus menunggu sedikit lama untuk mendapatkan permen kapas itu.
Tapi hanya ada satu yang salah. Kedai ini penuh akan anak kecil. Sejauh ini,
Sandeul tidak menemukan orang dewasa yang membeli permen kapas. Tidak selain ia
dan Min Ji.
“Ahjumma! Permen
kapasnya dua ya?” kata Min Ji pada bibi penjual permen kapas itu.
Tiba-tiba
Sandeul tersadar dari lamunannya karena benda pink yang berada di depannya.
“Ya Sandeul Lee
Junghwan!” bentak Min Ji.
“Ne? Ah wae?
Kenapa kau berteriak kencang sekali padaku?”
“Aku memanggilmu
lebih dari lima kali dan kau sama sekali tidak tersadar dari lamunanmu itu. Kau
ini selalu menyalahkan aku.” jawab Min Ji yang kemudian mengerucutkan bibirnya.
“Mian Min Ji-ah.
Mianhae..”
“Ini. Permen
kapasmu. Aku lelah memeganginya terus.” kata Min Ji.
Sandeul
tersenyum simpul melihat Min Ji. Gadis ini benar-benar berbeda dengan gadis
lainnya. Min Ji seperti bintang yang bersinar terang di antara jutaan bintang
lainnya.
\\\
Aku ini kenapa?
Ada apa denganku? Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkan Min Ji. Terlebih
lagi saat dia tersenyum, otakku terus mengulangnya tanpa henti. Hal macam apa
ini? Cinta? Benarkah? Ini menyiksaku, menyita waktuku. Tapi dibalik itu semua
aku tetap menyukai getaran di dada ini ketika mengingat Min Ji. Rasanya jantung
berdetak lebih cepat. Darah mengalir lebih cepat. Semuanya berjalan begitu
cepat hingga aku tidak tahu kalau rasa cinta diam-diam menyusup dalam hatiku.
Dengan diam, namun pasti.
Matahari mulai
muncul dari ufuk timur. Sinar sang surya mulai memasuki kamar Min Ji melalui
sela-sela tirai. Min Ji mencoba bangun dan sadar sepenuhnya dari tidurnya. Dia
bersiap pergi ke kampus. Terlebih lagi hari ini dosennya akan mengadakan kuis
dan dia tidak mempersiapkan apapun. Dia memilih memakai t-shirt putih polos, cardigan
berwarna pink dan jeans. Dengan rambut panjangnya yang bergelombang
dan pita berwarna senada dengan cardigan
yang ia pakai, Min Ji tampak begitu cantik.
“Minji-ah?”
panggil Sandeul.
“Ne? Ah...
Sandeul-ssi? Waeyo?”
“Aniyo.
Bagaimana? Sudah belajar untuk kuis nanti?”
“Itu... Aku
belum belajar.” jawab Min Ji sambil tertawa kecil.
“Eii kau ini mau
jadi apa, huh? Harusnya kemarin kau belajar. Kalau tidak bisa menjawab soal
kuis, maka kau tahu kan apa hukumannya?”
“YA! Aku kemarin
sebenarnya ingin belajar. Tapi, kau mengajakku pergi untuk jalan-jalan. Lalu
itu salah siapa? Pokoknya kalau aku diberi hukuman, kau juga harus ikut diberi
hukuman. Tidak ada tapi. Tidak ada koma. Sssst!” kata Min Ji.
Anehnya Sandeul
tidak merasa risih dengan kemarahan Min Ji itu. Ia menyukainya. Min Ji
benar-benar terlihat cantik ketika sedang meluapkan emosinya. Sandeul yang
gemas karena tingkah Min Ji, kemudian mengacak-acak rambut Min Ji. Min Ji yang
tadinya ingin marah menjadi terdiam karena lagi-lagi Sandeul memberikan senyum
simpulnya. Min Ji terlihat bingung dan hanya bisa menggedikkan bahunya.
Lima menit.
Sepuluh menit. Dosen itupun belum juga datang. Suasana kelas sepi. Semua
mahasiswa sibuk dengan buku mereka masing-masing. Tiba-tiba kabar yang bisa
dibilang cukup baikpun datang. Dosen mereka tidak hadir karena ada keperluan.
Suasana kelas berubah. Yang tadinya sepi, sekarang menjadi ramai. Ada yang
mendengarkan musik. Ada yang menceritakan kisah cintanya. Ada yang bergosip.
Menggelikan tapi cukup menyenangkan daripada harus melihat wajah mahasiswa yang
tegang, seperti akan dieksekusi saja.
Akhirnya semua
mahasiswa pun pulang. Tidak seperti biasanya, Sandeul kali ini tidak mengajak
Min Ji. Tetapi, Min Ji tetap mengikuti langkah Sandeul. Ia pikir Sandeul hanya
malas untuk berbicara, jadi ia memutuskan untuk tetap mengikuti Sandeul. Kemudian
Sandeul berhenti secara tiba-tiba. Sandeul hanya menatap Min Ji dengan wajah
bingung, namun Min Ji membalasnya dengan wajah marah.
“Kenapa kau
berhenti tiba-tiba? Kepalaku sakit. Bahumu itu keras sekali! Arraseo?” gertak
Min Ji.
“Jinjjayo? Di
mana bagian yang sakit?” jawab Sandeul sambil mencondongkan tubuhnya ke arah
Min Ji. Sandeul mengamati dahi Min Ji. Kini jarak di antara hanya beberapa
sentimeter. Min Ji dapat merasakan harumnya nafas Sandeul, mint segar. Jantung Min Ji berdebar sangat kencang. Bahkan mungkin
Sandeul bisa mendengarnya dengan jelas. Tiba-tiba Min Ji mendorong Sandeul
sampai-sampai Sandeul terduduk di lantai koridor kampus.
“Akk! Neo wae?
Wae geurae?!” tanya Sandeul sambil meringis kesakitan.
Min Ji hanya
bisa terdiam seperti patung. Ia memegangi dadanya. Sampai sekarang Min Ji masih
bisa mendengarkan debarannya dengan jelas. Tatapannya kosong. Otaknya terus
memutar adegan singkat tadi. Min Ji mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba untuk
sadar dari lamunannya. Ia kaget melihat Sandeul terduduk di lantai.
“Omo! Sandeul-ah,
neo wae? Kenapa kau duduk di lantai koridor kampus? Ireona!”
“Mwo? Aku?
Duduk? Kau mendorongku hingga aku terduduk seperti ini. Appo.” jawab Sandeul
yang masih meringis kesakitan.
“Jinjjayo?
Mian.” Min Ji menggigit bibirnya. Ia merasa bersalah karena telah mendorong
Sandeul. Ini semua karena debaran jantungnya. Kenapa bisa berdebar sekeras itu.
Biasanya, jika jantungnya berdebar sekeras itu maka itu tanda ia menyukai
seseorang. Ah, bukan biasanya tapi itu PASTI!
Min Ji kemudian
meninggalkan Sandeul di koridor kelas. Ia jalan terburu-buru dengan kepala yang
tetap menunduk. Tiba-tiba Min Ji menabrak seseorang. Dan seseorang itu adalah
dosennya.
“Neo! Jalan
menggunakan kedua kaki dan matamu. Sinkronasikan keduanya. Kamu ke ruangan saya
sekarang!”
Min Ji menghela
nafas panjang. Sepertinya, masalah tak pernah bosan untuk menyapanya. Ketika
Min Ji sedang berjalan menuju ruangan dosennya, ada tangan yang menariknya dan
mengajaknya berlari. Min Ji yang sedari tadi menunduk lalu mengangkat
kepalanya. Seorang namja. Tapi bukan Sandeul. Ia tidak mengenal lelaki ini.
Tiba-tiba lelaki itu berhenti dan melepaskan tangan Min Ji. Tetapi karena
keadaan Min Ji yang tidak seimbang, ia seakan hampir terjatuh. Tapi untunglah
kedua lengan hangat itu tidak membiarkannya terjatuh dan tetap berada dalam
dekapannya. Sontak Min Ji melepaskan kedua lengan itu dari tubuhnya.
“Mian” kata
lelaki itu.
“G- G-
Gwenchana” jawab Min Ji sambil terbata-bata.
“Joneun Shin Won
Ho ieyo. Neo? Nuguseyo?”
“Min Ji. Jang
Min Ji. Tapi, kenapa kau menarikku? Aku harus ke ruangan dosen sekarang.”
“Arraseo. Dosen
itu sedang tidak dalam mood yang
baik. Itu sebabnya dia mencari mahasiswa yang bisa dijadikannya pelampiasan
emosi. Neomu nappeun.”
“Ah.. geuraeyo?
Gomapta.” jawab Min Ji sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Kau mau makan
es krim denganku?” tanya Won Ho.
“Ne?”
“Mau atau
tidak?” tanyanya sekali lagi.
“Tapi aku tidak
terlalu suka es krim.”
“Bagaimana jika
es krim rasa permen kapas? Cotton candy
ice cream.”
“Ne!” jawab Min
Ji dengan semangat.
Selama di mobil,
Min Ji hanya memperhatikan Won Ho. Dia merasa aneh. Kenapa Won Ho bisa
mengetahui kalau ia suka es krim rasa permen kapas. Ah, lebih tepatnya permen
kapas.
“Memikirkan apa?
Pasti kau bingung dari mana aku tahu kalau kau suka permen kapas? Aku sering
melihatmu di kedai permen kapas bersama seorang lelaki. Dia......” Won Ho
menelan ludah.
“Namjachingu
mu?” sambung Won Ho.
“Sandeul? Bukan.
Dia hanya temanku. Benar. Aku tidak berbohong.”
“Baguslah kalau
begitu. Aku masih mempunyai kesempatan untuk menjadi pacarmu.” jawab Won Ho
sambil tersenyum tipis.
Hari-hari
berlalu dengan cepat. Setiap hari dijalaninya dengan lelaki itu, Won Ho. Min Ji
benar-benar tidak menyangka. Mungkin inilah yang disebut unexpected. Ia pikir, ia akan jatuh cinta pada Sandeul. Ternyata
hatinya salah. Ini pertama kali hatinya salah merasa. Tidak seharusnya
jantungnya berdebar keras saat itu. Harusnya Min Ji sadar itu hanya sesaat dan
bukanlah cinta. Min Ji terlalu sibuk dengan Won Ho sehingga ia tidak pernah
menyempatkan waktu untuk Sandeul. Ia lupa dengan sahabatnya — yang hampir jadi
pacarnya — itu.
Sore itu langit
gelap. Hujan seolah tak mengizinkan Min Ji untuk bertemu kekasihnya, Won Ho.
Tetapi Min Ji tetap bertekad untuk bertemu dengan Won Ho. Akhirnya ia tetap
pergi, melawan hujan demi cinta yang tak terbendung.
Sesampainya di cafe, Min Ji duduk di dekat jendela.
Persis di samping jendela. Selama dua bulan bersama Won Ho, Min Ji banyak
berubah. Won Ho membuatnya menyukai hal yang dulu tak pernah ia sukai. Won Ho
membuatnya mampu melewati hari-hari dengan mudah dan menyenangkan. Min Ji terus
memikirkan hal-hal itu hingga ia tak sadar kalau ia tersenyum sendiri tanpa
alasan yang jelas. Jari-jari Min Ji terus mengitari pinggiran gelas coklat
panasnya. Ia tetap menunggu Won Ho datang. Sudah satu jam Min Ji duduk di cafe ini tetapi Won Ho belum juga
datang.
Tiba-tiba Min Ji
menyadari sesosok pria berdiri di seberang jalan. Min Ji mengenalnya. Lelaki
itu sudah tak asing lagi baginya. Dan itu adalah Won Ho. Won Ho bersama wanita
lain. Min Ji kemudian berlari ke luar cafe
menembus derasnya hujan untuk mengejar cintanya. Ia menghampiri Won Ho dengan mata
yang berkaca-kaca. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.
“Nugu?” tanya
Min Ji.
“Nae
yeojachingu. Mian Min Ji-ah.”
“Wae? Bukankah
hari ini kau mengajakku bertemu dan akan mengatakan sesuatu?”
“Yang kau lihat
sekarang adalah apa yang ingin ku katakan. Mianhae.” jawab Won Ho lalu
meninggalkan Min Ji.
Suara tangis Min
Ji pecah saat melihat cintanya pergi. Mungkin ia terlalu mudah mempercayakan
hatinya pada Won Ho. Min Ji ingin mengejar Won Ho, namun sebuah tangan
mencegahnya.
“Kajima...” ucap
lelaki itu lirih.
“S- S- Sandeul?”
“Kajima Min
Ji-ah... Kajima...” ulang Sandeul.
Sandeul kemudian
memeluk Min Ji erat. Sandeul seolah tak ingin membiarkan Min Ji pergi untuk
kedua kalinya. Pergi meninggalkannya, kemudian menggoreskan luka di hatinya.
Sandeul kemudian melepaskan pelukannya dan berkata
“Jangan pernah
melihat dan mendengarkan apa yang membuatmu sakit. Sekalipun orang itu adalah
orang yang kau cintai, jangan pernah melihatnya. Jika dia benar mencintaimu,
maka ia tak akan membuat kau menjadi sakit. Mulai sekarang hanya melihat dan
mendengarkan apa yang membuatmu bahagia. Jangan menetapkan hati terlalu cepat,
atau kau akan terluka untuk kedua kalinya. Arraseo?”
Min Ji
mengangguk. Ia tidak menyangka bahwa Sandeul masih mengingatnya. Ia yang selama
ini melupakan Sandeul. Hatinya memang tak pernah salah, dua bulan yang ia lalui
bersama Won Ho hanyalah pengalihan supaya ia tidak jatuh terlalu dalam pada
hati Sandeul.
“Kalau kau mau,
aku bisa menjaga hatimu dan menerima cintamu.” kata Sandel sambil menggaruk
tengkuknya.
“Jin-jja-yo?”
jawab Min Ji yang seolah mengeja.
“Ne. Aku akan
membuatmu merasakan cinta semanis permen kapas yang kau suka. Hanya percayakan
padaku. Aku tak akan mengecewakanmu seperti lelaki itu.”
“Ngomong-ngomong
aku sudah lama tidak makan permen kapas Sandeul-ah.”
“Mau merasakan
manisnya permen kapas? Ng... Aku baru saja memakan permen kapas. Masih terasa
manis. Mau mencobanya?” tanya Sandeul nakal yang mencondongkan tubuhnya ke arah
Min Ji.
“Ne. Aku ingin
merasakannya.” goda Min Ji sambil mengerling dan mendekatkan wajahnya dengan
Sandeul.
Sandeul
terkejut. Ia langsung mundur teratur setelah mengetahui reaksi Min Ji. Ia terus
saja menepuk-nepuk pipinya. Ia benar-benar tak percaya dengan reaksi Min Ji.
Min Ji yang melihat Sandeul seperti itu langsung mencium pipi Sandeul. Sandeul
terdiam. Pipinya merona berwarna kemerahan.
“Kajja! Kita
makan permen kapas.” ajak Min Ji sambil menarik tangan Sandeul. Tetapi Sandeul
balas menarik tangan Min Ji.
“Bukan seperti
ini.” Sandeul menarik Min Ji ke sampingnya.
“Sepasang
kekasih harusnya berjalan di sampingnya sambil memegang tangannya. Dan
mengayun-ngayunkannya seperti ini.” sambung Sandeul sambil mempraktekannya.
Keduanya
tersenyum. Berharap awal cerita cinta manis ini akan tetap manis semanis permen
kapas hingga akhir.

